Baru kali ini mudik dengan arah kebalikan. Tahun tahun sebelumnya sejak 2006, selalu menemani Ibunda di Solo. Karena ibunda sudah wafat tahun kemarin tepat sebelum puasa, maka mudik beralih lokasi ke Jogjakarta. Tepat sehari sebelum Lebaran dari Solo pagi hari, cukup bawa bekal seperlunya langsung tancap menuju Klaten. Di Klaten untuk membantu kakak yang hari Sabtu 8 Juni 2019 (bertetapatan 4 Syawal 1440 H) ketempatan ngundhuh atau menjadi sohibul bait (tuan rumah) acara tahunan nasab/ bani dari kakek. Tentu sudah bingung berapa keluarga dan total berapa person yang mau hadir, sementara kakek saya sendiri putra-putrinya 18. Yang masih hidup tinggal separuhnya. Woow.....18 anak cuma dengan 1 ibu (nenek ).
Kemacetan Di Stasiun Delanggu |
Tetap setia dengan CB Dream biru sebagai kendaraan mudik ke Jogja, bikin kenangan sendiri. Kemacetan dan terpaksa selalu ambil mepet kiri adalah menu rutin para pemudik agar tak lama dalam siklus kemacetan, walaupun ini tidak disarankan. Tapi itulah, mudik adalah perjuangan. Dari Klaten tancap ke Jogja siang hari, dan nampaknya cuaca keluar Klaten cukup bersahabat, tidak terlalu panas. Macet panjang sempat terjadi interval Prambanan menuju Kalasan, sehabis itu cukup lancar hingga tempat Tujuan yakni rumah ibu mertuwa daerah Sidoarum Godean. Pasca ibunda wafat di Solo, inilah sholat Idul Fitri pertama di rumah ibu mertuwa. Setelah sholat dan sungkeman, lanjut kota Wates untuk silaturahim dengan Budhe yang rumahnya sekitar Siluwok, 5 km selatan Wates. Istirahat sebentar usai sungkeman, meski mesin agak panas tancap lagi ke Jogja untuk periapan esok hari menuju Klaten lagi.
Wedangan & Rest Di Klaten |
Sementara di Klaten, persiapan kakak untuk acara Sabtu dirasa cukup tinggal urus konsumsi, langsung cabut menuju Solo lagi karena ada acara Syawalan lebih tinggi lagi (orang tua kakek alm) atau simbah buyut yang wafat tahun 1960 an. Kakek buyut memiliki 3 istri dengan 21 anak, woowww......super mantab lagi. Biasanya memang acara di simbah buyut ini ambil hari-3 Syawal. Yang sedikit agak membesarkan hati, rentetan jalur simbah buyut ini sambung kepada pembantu utama Pangeran Diponegoro, kata orang tua dulu, ntah benar tidaknya, Wallohu A'lam. Acara berlangsung di komplek pondok pesantren Jamsaren Surakarta (Solo) yang merupakan peninggalan kakek buyut sejak tahun 1800 an. Praktis 2 hari sudah nempuh 200 km, dan alhamdulillah CB biru yang belum sempat ganti oli masih sehat wal afiat.
Lokasi Acara |
Akhirnya acara tahunan bani kakek (abdussomad Solo) yang sedikit lebih meriah dari sebelumnya. Maklumlah, jalinan keluarga lebih kecil akan lebih rapat. Informasi yang didapat dari putra kakek yang paling tua, bahwa kakek alm. menikah saja tak tahu nama calonnya (maklum dijodohkan). Naik Haji usia belum sampai 20 th, dan menikah sepulang ibadah Haji kira kira usia 21 th. Kenapa orang tua zaman dulu rata rata banyak anak anaknya ?, maklum lah hiburan, teknologi, tontonan tidak seperti saat ini. Hiburannya, sehabis mengajar ya di kamar, hehehehehe......!! Itulah rahasianya ternyata.
Napak Tilas Kakek Buyut Jamsaren Solo |
Dengan 18 anak 1 ibu ini menjadikan acara rutin tahunan, memang nampak makin berkualitas. Sebab, sejak tahun kemarin beberapa peninggalan almarhum kakek yang sepertinya tertutup untuk dilaporkan, kami mencoba untuk membuka pelan pelan yakni dengan membentuk kepengurusan bebarapa warisan yang bermanfaat untuk masyarakat. Sebut saja ada 1 pondok mini serta 1 masjid tua bangunan sejak 1940 an. Putra puti almarhum mulai diajak mikir bareng kelangsungan aset serta cagar keluarga yang monumental. Acara berakhir setelah sholat dhuhur, dan alhamdulillah beberapa doorprize untuk anak anak (cicit) bisa terdistribusikan dengan merata. Meski tajuk tulisan tentang Lebaran, namun jumlah khas keluarga menjadi fokus dan cukup langka yakni halal bihalal 18 anak 1 ibu jadi acara rutin lebaran. Semoga tahun depan masih bisa bersua lagi, dengan acara yang sama namun direncanakan di Sragen (jalur cucu).